Sejarah perjalanan perkembangan keyakinan dan pemikiran umat
manusia tentang pendidikan telah melahirkan sejumlah ajaran filsafat yang
melandasinya. Ajaran filsafat adalah hasil pemikiran sesorang atau beberapa
ahli filsafat tentang sesuatu secara fundamental. Dalam memecahkan suatu
masalah terdapat pebedaan di dalam penggunaan cara pendekatan, hal ini
melahirkan kesimpulan-kesimpulan yang berbeda pula, walaupun masalah yang
dihadapi sama. Perbedaan ini dapat disebabkan pula oleh faktor-faktor lain
seperti latar belakang pribadi para ahli tersebut, pengaruh zaman, kondisi dan
alam pikiran manusia di suatu tempat.
Ajaran filsafat yang berbada-beda tersebut, oleh para
peneliti disusun dalam suatu sistematika dengan kategori tertentu, sehingga
menghasilkan klasifikasi. Dari sinilah kemudian lahir apa yang disebut
aliran filsafat. Banyak pemikiran-pemikiran dari para ahli
filsafat masa lampau yang menghasilkan banyak aliran dalam filsafat. Salah
satu aliran filsafat atas pemikiran yang mendalam tersebut adalah
pragmatisme.
Konsep
pragmatisme mula-mula dikemukan oleh Charles Sandre Peirce pada tahun 1839.
Dalam konsep tersebut ia menyatakan bahwa, sesuatu dikatakan berpengaruh bila
memang memuat hasil yang praktis. Pada kesempatan yang lain ia juga menyatakan
bahwa, pragmatisme sebenarnya bukan suatu filsafat, bukan metafisika, dan bukan
teori kebenaran, melainkan suatu teknik untuk membantu manusia dalam memecahkan
masalah. Dari kedua pernyataan itu tampaknya Pierce ingin menegaskan bahwa,
pragmatisme tidak hanya sekedar ilmu yang bersifat teori dan dipelajari hanya
untuk berfilsafat serta mencari kebenaran belaka, juga bukan metafisika karena
tidak pernah memikirkan hakekat dibalik realitas, tetapi konsep pragmatisme
lebih cenderung pada tataran ilmu praktis untuk membantu menyelesaikan
persoalan yang dihadapi manusia.
Jika
ditelusuri dari akar kata, pragmatisme berasal dari perkataan “pragma”
yang berarti praktek atau aku berbuat. Maksud dari perkataan itu adalah, makna
segala sesuatu tergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan.
Diulas dalam buku Pengantar Filsafat bahwa, tampaknya jalan pikiran Pierce tak
lebih dari sebuah keinginan untuk mewujudkan pragmatisme sebagai ilmu yang
mengorientasikan diri kepada makna praktis dari konsekuensi yang ditimbulkan
oleh sebuah tindakan.Jika tidak menimbulkan konskuensi yang praktis maka tidak
ada makna yang dikandungnya. Karena itu,munculah sebuah semboyan bahwa, “Apa
yang tidak mengakibatkan perbedaan tidak mengandung makna”.
Sebagian
penganut pragmatisme yang lain mengatakan bahwa, suatu ide atau tanggapan
dianggap benar, jika ide atau tanggapan tersebut menghasilkan sesuatu, yakni
jalan yang dapat membawa manusia ke arah penyelesaian masalah secara tepat
(berhasil). Seseorang yang ingin membuat hari depan, ia harus membuat
kebenaran, karena masa depan bukanlah sesuatu yang sepenuhnya ditentukan oleh
masa lalu. Bahkan, Budi Darma mengatakan bahwa, masa depan itu tidak ada, masa
lalu juga tidak ada, yang ada adalah masa sekarang maka berjuanglah untuk saat
ini. Inti dari peryataan tersebut adalah, kebenaran pragmatik merupakan
kebenaran yang bersifat fungsional, berguna atau praktis.Segala sesuatu
dianggap benar jika ada konsekuensi yang bersifat manfaat bagi hidup manusia.
Sebuah tindakan akan memiliki makna jika ada konsekuensi praktis atau hasil
nyata yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Masa lalu dan masa depan adalah
sesuatu yang telah dan belum terjadi. Sementara itu, masa sekarang adalah
fakta, maka hadapilah kenyataan sekarang dengan penuh perjuangan.
Pada
abad ke-20 ada aliran filsafat yang pengaruhnya dalam dunia cukup besar, yaitu
aliran filsafat pragmatisme.Pragmatisme merupakan gerakan filsafat Amerika yang
menjadi terkenal selama satu abad terakhir.Aliran filsafat ini merupakan suatu
sikap, metode dan filsafat yang memakai akibat-akibat praktis dari pikiran dan
kepercayaan sebagai ukuran untuk menetapkan nilai kebenaran.
Kelompok
pragmatisme bersikap kritis terhadap sistem-sistem filsafat sebelumnya seperti
bentuk-bentuk aliran materialisme, idealisme dan realisme. Mereka mengatakan
bahwa pada masa lalu filsafat telah keliru karena mencari hal-hal mutlak, yang
ultimate, esensi-esensi abadi, substansi, prinsip yang tetap dan sistem
kelompok empiris, dunia yang berubah serta problema-problemanya, dan alam
sebagai sesuatu dan manusia tidak dapat melangkah keluar daripadanya.
Salah
seorang tokoh Pragmatisme adalah William James (1842-1910), ia memandang pemikirannya
sendiri sebagai kelanjutan empirisme inggris, namun empirismenya bukan
merupakan upaya untuk menyusun kenyataan berdasar atas fakta-fakta lepas
sebagai hasil pengamatan. James membedakan dua macam bentuk pengetahuan :
· Pengetahuan yang langsung diperoleh
dengan jalan pengamatan.
· Pengetahuan tidak langsung yang
diperoleh dengan melalui pengertian.
Kebenaran
itu suatu proses, suatu ide dapat menjadi benar apabila didukung oleh
peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah dari ide itu. Oleh karena kebenaran
itu hanya suatu yang potensial, baru setelah verifikasi praktis (berdasarkan
hasil/buah pemikiran), kebenaran potensial menjadi real.
Referensi:

Tidak ada komentar:
Posting Komentar